Sambut Gerhana, Ada 100 Event Wisata di 12 Provinsi Indonesia

Jelang fenomena gerhana matahari total 9 Maret 2016 mendatang, setiap provinsi saling berlomba mendatangkan wisatawan. Akan ada, total 100 event wisata di 12 provinsi di Indonesia.

Pada 9 Maret 2016 mendatang, Indonesia akan dilalui oleh gerhana matahari total dengan fokusnya di 12 provinsi. Oleh sebab itu, 12 provinsi utama Indonesia yang akan dilewati fenomena gerhana matahari total akan habis-habisan untuk promosi wisata di daerahnya masing-masing. Kalau dihitung secara keseluruhan, akan ada sekitar 100 event wisata yang diselenggarakan serentak!

"Yang unik adalah ini terjadi di Indonesia, Ada lebih dari 100 event pariwisata yang akan dilangsungkan," ujar Menpar Arief Yahya pada rekan media saat presscon gerhana matahari total di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Senin (25/1/2016)

Event wisata itu pun didukung oleh semua pihak, terbukti dengan hadirnya Gubernur dari Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara di ruang prescon. Selain itu turut hadir sejumlah pelaku wisata hingga ketua Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Profesor Thomas Djamaluddin yang turut melakukan presentasi.

"Gerhana matahari total Maret ini memang unik dan langka, uniknya karena melalui daratan hanya di Indonesia," jelas Thomas.

Thomas pun menjelaskan, bahwa Sumbar, Bengkulu, Jambi, Sumsel, Babel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulbar, Sulteng dan Maluku Utara akan menjadi pusat. Untuk kotanya adalah Palembang, Belitung, Balikpapan, Luwuk, Sampit, Halmahera, Mentawai, Bangka, Palangkaraya, Polo, Palu, dan Ternate. Di daerah tersebut traveler akan dapat melihat fenomena gerhana matahari total dengan durasi waktu yang bervariasi dari satu hingga tiga menit.

Untuk acaranya, setiap provinsi di Indonesia akan melangsungkan atraksi budaya, lomba, hingga pemantauan bersama gerhana matahari total. Pihak provinsi dan pemda setempat pun telah saling bekerja sama untuk memeriahkan fenomena langka tersebut. Menpar pun meminta setiap provinsi untuk menjadikan fenomena gerhana sebagai ajang promosi wisata.

Sumber: detik

Saat Gerhana 1983 Pengamat Sempat Khawatir Cuaca Buruk

Pengamatan gerhana matahari total memang sangat tergantung pada cuaca. Mendung bahkan berawan sedikit saja bisa mengganggu hasil obeservasi.

Menjelang gerhana matahari 11 Juni 1983, kecemasan juga sempat melanda para astronom. Pasalnya, dua hari sebelum gerhana, cuaca di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah berawan.

Peneliti yang yang berkumpul di Yogyakarta, Magelang dan Boyolali sempat berpikir untuk memindahkan peralatannya. Bahkan astronom yang di Purworejo akhirnya pindah ke Bantul.

"Kalau besok kondisi masih seperti sekarang ini, matahari tidak bisa diamati dengan baik," kata Dwi Rossdyanto, ketua tim pengamat gerhana dari Teknologi Komunikasi Departemen P dan K seperti dilansir Kedaulatan Rakyat. "Bisa diamati tapi jelek."

Prakiraan cuaca dari kantor Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Departemen Perhubungan memang menyebut cuaca berawan dan hujan akan terjadi di daerah Jepara, Rembang, dan Cepu. Sedangkan, Solo dan sekitarnya berawan namun tidak hujan.

Beruntung saat gerhana, cuaca berawan tapi tidak hujan sehingga pengamatan terhadap matahari bisa dilaksanakan hingga selesai. Pengamatan dilakukan sejak pagi hingga sekitar pukul 13.00 WIB.

Sumber: detik

Saat Aparat Menyita Teropong dan Kacamata Gerhana Tahun 1983

Peristiwa Gerhana Matahari Total (GMT) atau Total Solar Eclipse yang terjadi pada hari Sabtu 11 Juni 1983 mendapat perhatian serius pemerintahan Orde Baru waktu itu. Rakyat tidak boleh melihat secara langsung proses terjadinya GMT yang berlangsung pada puku 11.29'.27" atau selama lebih dari 5 menit itu.

Hampir semua daerah di pulau Jawa bisa menyaksikan peristiwa GMT. Namun rakyat hanya bisa menyaksikan siaran dari televisi. Rakyat tidak boleh melihat atau menatap langsung GMT dengan alasan ancaman bahaya radiasi.

Berbagai cara pun dilakukan, termasuk berusaha meraih keuntungan dari peristiwa GMT. Seperti yang termuat dalam berita Harian Kedaulatan Rakyat pada Rabu Pon, tanggal 1 Juni 1983 dan Sabtu, 11 Juni 1983 terdapat berita menarik.

Pertama, "Beredar Di Pasaran Bebas, Disita Polri Jatim 20 Teropong GMT". Kedua, berjudul "900 Kacamata GMT Disita Polri di Tuban".

Pada berita pertama disebutkan "Polri Kodak X Jawa Timur berhasil menyita sekitar 20 teropong untuk melihat Gerhana Matahari Total (GMT) yang dijual di pasaran bebas. Penjualan teropong GMT tersebut dilengkapai dengan petunjuk pemakaiannya. Alat tersebut beredar di Surabaya dan Kecamatan Rengel Kabupaten Bojonegoro.

Dalam berita itu Asisten Kodak X Jawa Timur (tanpa disebut nama dan jabatan-red) menyatakan semua benda yang dijual untuk melihat GMT dianggap tidak sah. Alasannya tidak ada alat apapun yang aman untuk melihat GMT.

Penyitaan teropong GMT itu merupakan satu kegiatan pengamanan menyambut GMT 11 Juni 1983. Polri bertugas mengamankan masyarakat, para pengamat (turis asing dan domestik) dan memberikan penerangan kepada masyarakat.

Untuk penerangan pada masyarakat akan secara langsung memberikan penerangan melalui televisi dan penyebaran pamflet. Penerangan mengenai GMT juga akan dilakukan menggunakan heli di daerah Madiun, Kediri, Malang, Bojonegoro dan Surabaya.

Di berita tersebut masyarakat juga dianjurkan untuk tidak membeli peralatan optik dan menyaksikan siaran dari televisi.

Sedangkan berita lainnya berjudul "900 Kacamata GMT Disita Polri di Tuban". Dua petugas Brigade Kendaraan (Brimob-red), Serda (Pol) Sumantri dan Serda Sugeng menggerebeg empat pengedar kacamata GMT di sebuah Rumah Makan di Jl Basuki Rahmad, Tuban. 900 kacamata GMT dan surat ijin dari LIPI dan LIN tertanggal 6 Mei 1983.

Menurut pengakuan empat oknum itu, masing-masing JS (36), HS (42), SS (36) dan SN (32) sebagian kacamata sudah laku dijual di Semarang, Rembang, Yogyakarta, Solo dan Tuban.

Di depan Dansat Brigade Kendaraan, Lettu Zaenuri, kacamata dijual dengan harga Rp 400 ribu-600 ribu/buah. Mereka berani menjual kacamata karena sudah ada ijin dari LIPI dan LIN yang ditandatangani Joko Pitono selaku kepala divisi media dan penanggungjawab serta mendapat rekomendasi dari Observatorium Boscha Lembang Bandung.

Untuk pengusutan mereka diserahkan ke Dansat Serse Kores 1962 Tuban. Mereka tidak ditahan, namun diawasi petugas dan akan dilepaskan setelah GMT 11 Juni 1983.

Petugas juga meragukan surat ijin yang dikeluarkan dengan tanggal 6 Mei itu karena pada tanggal 11 Mei 1983, pemerintah melarang penjualan alat-alat untuk melihat GMT. Jadi surat itu tidak berlaku lagi.

Alat kacamata yang dijual empat orang itu berupa teropong kardus berbentuk kotak panjang yang dilengkapi kaca film negatif. Di bagian atas tertulis GMT Sabtu, 11 Juni 1983.

Sumber: detik

Gerhana 1983, Astronom Dunia Berkumpul di Borobudur Sampai Rumah Bu Diyah

Saat peristiwa Gerhana Matahari Total (GMT), 11 Juni 1983 atau 33 tahun yang lalu banyak mendapat perhatian dunia internasional terutama para ahli astronomi dari berbagai negara seperti Perancis, Amerika Serikat, Jerman Barat, Jepang dan Inggris. Mereka ingin meneliti peristiwa GMT atau Total Solar Eclipse yang paling langka terjadi.

Selain itu peristiwa GMT di Indonesia waktu itu merupakan terlama dalam sejarah gerhana. Lama gerhana matahari total selama lebih dari 5 menit. Hal itu berarti GMT yang lebih lama dibandingkan yang pernah terjadi negara lain di tahun-tahun sebelumnya.

Pemerintah Indonesia waktu itu memusatkan kegiatan pengamatan GMT dari kawasan Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah. Di tempat itu disiarkan langsung stasiun TVRI bekerja sama dengan NHK Jepang. Namun pada ahli astronomi dunia ada yang memilih kegiatan pengamatan di tempat lain seperti Yogyakarta, Sleman, Bantul, Boyolali, Solo dan Purworejo.

Waktu itu ada ratusan pengamat asing dan dari Indonesia termasuk mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dari berbagai disiplin ilmu yang ikut mengamati dan meneliti.

Berdasarkan berita yang dimuat Harian Kedaulatan Rakyat, hari Kamis Wage, 2 Juni 1983 ada sekitar 86 astronom yang mengamati GMT di Boyolali. Mereka mulai berdatangan. Salah satunya, dua orang astronom dari Manchester University of England. Mereka adalah M. Poirier dan D. James yang sudah membawa peralatan lengkap.

Di Boyolali mereka menginap di rumah Ny Diyah Subroto di Kampung Sidodadi dengan ongkos sewa Rp 25 ribu/hari. Mereka tinggal di rumah itu hingga tanggal 14 Juni 1983.

Saat itu Pemerintah Kabupaten Boyolali telah membentuk seksi penelitian GMT, yang dikepalai Drs Sutikno telah mendata dan mencatat sebanyak 82 orang astronom asing yang akan datang, termasuk dari Jepang. Rombongan dari Jepang tidak menginap di Boyolali tapi di Solo. Selain itu ada rombongan dari Italia sebanyak 40 orang, Jerman Barat sebanyak 3 orang, Institut Pertanian Bogor (IPB) sebanyak 100 orang dan mahasiswa dari Jakarta sebanyak 100 orang.

Selain di Boyolali di Lapangan Bayan kabupaten Purworejo juga ada banyak pengamat asing yang melakukan pengamatan GMT dari wilayah itu. Sementara itu Pemda Jawa Tengah mencatat adar 1.873 turis asing yang datang ke Jawa Tengah yang akan menyaksikan peristiwa GMT.

Sumber: detik

Kekhawatiran Polisi soal Momen Gerhana 1983 yang Dimanfaatkan Penjahat

Peristiwa gerhana matahari total 11 Juni 1983 disambut kepolisian dengan penuh kewaspadaan. Kepala Daerah Kepolisian Jawa Tengah ketika itu, Mayjen (Pol) JFR Montolalu menyatakan adanya kemungkinan momen gerhana dimanfaatkan oleh penjahat.

"Para penjahat dan kaum subversif yang berani coba-coba memanfaatkan suasana gerhana matahari total akan akan ditindak tegas," kata Montolalu saat apel pasukan pada 2 Juni 1983. Montolalu mengingatkan anak buahnya agar bisa mencegah kejahatan dan tindak subversif.

Menurut Montolalu, gerhana menjadi perhatian nasional dan internasional sehingga keamanan harus mantap. Kepolisian Jawa Tengah mengerahkan 3.300 personel terdiri dari petugas lalu lintas, Brimob, dan brigade satwa.

Sementara itu Kepolisian Yogyakarta berencana menggelar patroli keliling menjelang gerhana. Komandan polisi Yogyakarta ketika itu, Kolonel (Pol) Soeharsono mengatakan pihaknya akan lebih gencar mengingatkan masyarakat akan anjuran Presiden Soeharto agar menonton gerhana lewat televisi saja.

"Yang jelas pihak kami akan mengadakan patroli keliling dan pengarahan kepada masyarakat lebih gencar," kata Soeharsono. Sasaran utama patroli ini, kata dia, adalah generasi muda yang sering meremehkan resiko yang mungkin terjadi saat gerhana.

Menurut Soeharsono, gerhana matahari akan dianggap sama seperti hari Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Karena itu pengamanannya juga sama seperti hari-hari besar itu.

Sumber: detik